-->

ads

Showing posts with label Konvensi Jenewa. Show all posts
Showing posts with label Konvensi Jenewa. Show all posts
Sebelum melangkah lebih jauh tentang pandangan saya pribadi terhadap aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh volunteer dalam hal ini yang tercakup dalam lingkup palang merah maupun bulan sabit merah internasional, mari pahami terlebih dahulu tentang Konvensi Jenewa sesuai dengan konteks tema yaitu dalam tinjauan agama #70thICRCid.

Konvensi Jenewa terdiri dari empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan, yang menetapkan standar hukum Internasional untuk pengobatan kemanusiaan dalam situasi perang. Istilah ini (Konvensi Jenewa) merujuk pada perjanjian tahun 1949, negosiasi pasca Perang Dunia Kedua (1939-1945), yang kemudian diperbarui untuk tiga perjanjian (1864,1906, 1929) dan menambahkannya menjadi yang ke-empat.

Secara luas, Konvensi Jenewa fokus pada hak-hak dasar tawanan perang (warga sipil dan personel militer), mendirikan perlindungan untuk yang terluka dan bagi warga sipil di sekitar area perang. Perjanjian tahun 1949 yang diratifikasi, secara keseluruhan atau dengan reverasi menjadi 196 negara. Selan itu, Konvensi Jenewa juga mendefinisikan hak dan perlindungan yang diberikan kepada non-kombatan.

Konvensi jenewa tidak menyangkut pada penggunaan senjata perang, karena hal tersebut sudah diatur dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa.

"Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)

Riwayat
Pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memory of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai kengerian perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan: 
Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan
Dibentuknya perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya dianugerahkan.
 
Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.

Perjanjian yang kedua diadopsi untuk pertama kalinya dalam Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Laut,[7] yang ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1906 dan secara spesifik berkenaan dengan anggota Angkatan Bersenjata di laut. Perjanjian ini dilanjutkan dalam Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli 1929 dan mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 1931.

Terinspirasi oleh gelombang antusiasme akan kemanusiaan dan perdamaian yang muncul seusai Perang Dunia II dan oleh kegusaran publik atas berbagai kejahatan perang yang terungkap dalam Pengadilan Nuremberg, maka pada tahun 1949 diadakan serangkaian konferensi dengan hasil berupa diteguhkan, diperluas, dan diperbaharuinya ketiga Konvensi Jenewa yang sudah ada dan diadopsinya Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil pada Masa Perang, sebuah perjanjian yang baru dan rinci #70thICRCid.

Kembali ke konteks awal yakni Konvensi Jenewa dalam tinjauan agama, yaitu bahwa pada dasarnya apa yang ada dalam Konvensi Jenewa merupakan bentuk perwujudan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama mengajarkan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita wajib tolong menolong serta memberikan bantuan terhadap orang lain yang membutuhkan

Pandangan Islam tentang kemanusiaan yang menjadi landasan ideal kebudayaan didasarkan atas Tauhid, kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah. Dalam keyakinan ini tiadak di alam semesta ini kekuasaan yang lebih tinggi selain kekuasaan Tuhan, begitu pula tidak ada hukum yang lebih tinggi selain Hukum Tuhan. Di hadapan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa kedudukan manusia adalah sama tanpa memandang ras, etnik, bangsa, jabatan, kedudukan, profesi, atau bidang kepakaran. Keyakinan ini yang membentuk dasar egalitarianisme islam, sebaaimana diucapkan Nabi dalam pidatonya pada haji wada’ di Mekkah pada tahun 632 M. Isi pidato ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat 13: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertaqwa.”
October 14, 2015