Perkembangan teknologi yang begitu pesat tentunya membuat segala informasi yang datang dari segala lini meluncur dengan cepat. Percepatan teknologi ini tentu dapat membawa pengaruh yang positif maupun negatif. Semuanya sudah ada resiko yang harus dihadapi namun sejauh mana kita bijak dalam memanfaatkan teknologi ini untuk kebebasan berekspresi. Apalagi Indonesia termasuk surganya kebebasan berekspresi di mana sudah diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi bahwa "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".
Kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi ini sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam upaya membangun kebebasan mengeluarkan pendapat, demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan fokus pembahasan mengenai prosedural mengemukakan pendapat di muka umum, ditentukan juga melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang "Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum dalam pemenuhan jaminan hak asasi manusia". Inilah gambaran mengenai kebebasan berekspresi dan perlindungan tentang hak asasi manusia di Indonesia.
Apa yang kita rasakan mengenai kebebasan informasi ini tentu saja berbeda di tiap negara. Mari sejenak kita tengok belakang yakni ke Vietnam, terkait dengan penangkapan seorang blogger Khatolik bernama Ta Phong Tan karena tulisannya yang menyuarakan "kebenaran dan keadilan", namun oleh pemerintah dirinya dianggap berupaya mempropaganda dan mengancam keutuhan negara. Itu hanya sekilas gambaran mengenai kisah nyata seorang blogger yang dipenjara karena tulisannya.
Kebijakan akan kebebasan berekspresi yang berbeda ini tentu saja harus menjadi perhatian serius. Kita harus memahami daerah atau negara mana saja yang masih mengekang kebebasan ekspresi, sehingga bisa meminimalisir resiko baik berupa ancaman penjara maupun pembunuhan. Ancaman semacam ini memang dapat memicu tingginya konflik sosial di berbagai kalangan, yang memaksa setiap orang harus benar-benar menjaga dirinya masing-masing jika ingin berkoar baik di sosmed atau pun majalah dan koran.
Filipina, sebuah negara yang juga termasuk dalam kawasan Asean pun tak jauh berbeda dengan Vietnam yang mengekang akan kebebasan berekspresi. Menyampaikan pendapat baik berupa keluhan, curhatan atau sekedar opini pribadi di social media seperti facebook, twitter maupun blog misalnya, bisa mendapat ancaman yang serius termasuk penjara. Dasar hukum yang digunakan pemerintah Filipina dalam membatasi interaksi warganya melalui socmed dan interaksi secara langsung, yakni Undang-Undang Pencegahan Kriminal (Cybercrime Prevention Act) tahun 2012 yang ditandatangani presiden Benigno Aquino, 12 September tahun lalu.
Undang-undang tersebut berisi bahwa seseorang dapat dinyatakan bersalah dan mendapatkan denda termasuk dipenjara dengan tuduhan memfitnah baik di media informasi seperti televisi, koran hingga
social media. Ancaman lain yang juga menjadi momok menakutkan bagi warga negara Filipina dalam mengeksplorasi pemikirannya, yakni lemahnya penegakan hukum di negara tersebut. Ketika seorang blogger atau pengguna social media mengemukakan opininya, dan terdapat seseorang yang tidak senang akan tulisan tersebut, dirinya akan mengancam hingga melakukan pembunuhan terhadap blogger tersebut. Tindakan ini dilakukan secara sengaja karena memang lambatnya penegakan hukum, sehingga mereka dengan memanfaatkan Undang-undang Pencegahan Kriminal bisa memenjarakan dengan mudah para blogger.
Terkait dengan rencana pembentukan
Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 (AEC2015), diharapkan pemerintah di kawasan ASEAN melonggarkan kebijakan akan kebebasan berekspresi ini. Sehingga setiap individu bisa menyampaikan berbagai informasi khususnya terkait dengan pembangunan ekonomi, wisata dan lain sebagainya yang sangat bermanfaat untuk seluruh elemen. Kebebasan berinteraksi dan berekspresi tentu saja bukan sekedar bebas dalam menyampaikan opini, melainkan juga ada etika, tata krama, unggah-ungguh yang harus dijunjung tinggi agar tidak ada pihak yang merasa terfitnah.
Di undang-undang tersebut dikatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan bersalah dan akan mendapatkan denda serta dipenjara karena komentar memfitnah di media sosial, dunia maya, termasuk komentar yang ada di facebook, twitter, atau blog. Sebuah undang-undang yang terkait dengan kriminal di dunia maya tersebut banyak menuai protes dari berbagai kalangan dan kelompok termasuk wartawan karena akan menganggu kebebasan berekspresi dan berinformasi.