Akhir-akhir ini Pemerintah memang sedang menggalakan penanaman seribu pohon atau sejuta pohon yang sering kita dengan di media massa. Namun apakah ada tindaklanjut dari acara ini? Yang jelas saya hanya bisa bergumam melihat hal ini dari kejauhan. Yang namanya proyek pemerintah jelas ada juga unsur penghabisan anggaran, apalagi kalau pengerjaannya dilaksanakan diakhir tahun. Banyaknya proposal kegiatan dari berbagai lembaga pemerintah mengundang rasa penasaran kita akan penyelenggaraan acara yang berlangsung sejak dahulu kala. Namun yang jelas jika proyeknya bermanfaat dan minim korupsi ya boleh saja dilakukan, akan tetapi kalau boleh dikasih saran mbokya digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Di mana ada gula di situ ada semut, itulah ungkapan yang saya terapkan ketika menghadapi penghujung akhir tahun.
Kembali ke pokok bahasan utama, bahwa sesuatu yang dilakukan pemerintah dan berbagai tindakan lain terkait kepedulian lingkungan, memang harus kita amati seksama tindaklanjut dari program tersebut. Bisa saja mereka hanya melakukan tindakan penanaman masal, tetapi perawatannya tidak diperdulikan alias (dijorna bae). Sempat saya melihat informasi dari media elektronik bahwasanya pohon-pohon yang ditanam dalam proyek garapan berbagai lembaga adalah jenis trembesi maupun jati yang konon memang lebih tahan hama sehingga apabila dilalaikan masih ada kemungkinan tumbuh. Sementara beberapa tanaman lain seperti yang sedang populer saat ini yakni jabon, perlu mendapatkan perawatan khusus agar berkesinambungan umurnya.
Banyak memang saat ini petani maupun pengusaha yang memanfaatkan lahan mereka untuk menanam jenis pohon yang satu ini. Orang jawa bilang bahwa pohon jabon lebih mirip dengan kayu klepu atau pohon klampean. Namun dari segi penelitian, saya sendiri belum mengetahui sejarah dari pohon yang berdaun lebar bak jati ini. Mengapa banyak petani yang memanfaatkan lahan non-produktif mereka untuk menanam jenis kayu ini? Tentu saja adalah harga jual yang tinggi serta sifat tumbuh yang lebih cepat dibandingkan dengan bibit pohon yang lainnya. Investasi masyarakat terhadap pohon atau pun tanaman lain yang bisa menghasilkan dalam waktu cepat memang diincar para petani yang ingin mendapatkan berkah dari hasil bumi dan hutan.
Untuk memperjelas gambaran mengenai tanaman jabon ini akan hasil jualnya, berikut akan saya paparkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan asumsi bahwa pada lahan 1 hektar dan usia pohon 4-5 tahun, serta harga penjualan perkubiknya saat ini adalah Rp 1.100.000,- dengan biaya pemotongan tebang ditanggung oleh pembeli. Maka hasil panen jabon yang bisa digambarkan adalah sebagai berikut:
a. Jarak tanam 3x3 maka bisa didapatkan bahwa 1 hektar mencapai 1.100 bibit pohon
b. Tiap pohon berkisar menghasilkan 1 kubik hingga 1,5 kubik dan bisa diambil rata-rata per pohon adalah 1,25 kubik per pohon
c. 1.100 batang pohon dikalikan 1,25 kubik = 1.375 kubik
d. Harga per kubik adalah Rp 1.100.000 x 1.375 = Rp 1.512.500.000
Sementara itu dari segi pengeluaran antara lain; harga bibit yang berjumlah 1.100 batang dikalikan dengan harga bibit Rp 2.000/batang maka mencapai 2.200.000; biaya pemupukan dan tenaga awal mencapai 200.000 per batang, sehingga dapat disimpulkan bahwa Rp 200.000x 1.100 = Rp 220.000.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa Rp 220 jita ditambah 2.200.000 mencapaai Rp 222.200.000 adalah 1.290.300.000
Itulah gambaran singkat mengenai prospek kayu jabon terhadap kebutuhan kayu nasional saat ini. Namun menghadapi beberapa pertanyaan dari masyarakat terkait pemasaran, serta fungsionalitas dari kayu jabon ini yang mana masyarakat di tempat saya Banjar Jawa Barat masih belum memahami betul. Untuk itu saya perlu menjelaskan apa saja manfaat dari kayu jabon ini, sehingga mereka mau memanfaatkan lahan non-produktif untuk menghasilkan kekayaan bumi dari perhutanan. Jadi manfaatnya antara lain sebagai batang korek api, papan triplek, kertas bahkan bisa dijadikan sebagai meubel. Demikian beberapa pencerahan dari saya untuk saat ini dan semoga bermanfaat bagi semua.